Sabtu, 03 Januari 2009

Peran Arsitektur dalam Penataan Ruang Kota


Ruang yang diartikan sebagai tempat manusia untuk bertempat tinggal dan melakukan aktivitas dalam perkembangannya akan dipengaruhi oleh penghuninya itu sendiri. Diperlukan adanya interaksi antara penghuni dan arsitek yang berfungsi sebagai perancang kota untuk mewujudkan sebuah ruang kota yang teratur.

Ada 4 (empat) tingkatan arsitektur perkotaan yang harus dipenuhi guna mewujudkan sebuah ruang yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, yaitu fungsional dalam arti mampu mendukung aktivitas penduduk, nyaman, indah secara visual, dan berbudaya yang dapat diartikan memenuhi kebutuhan dan emosional masyarakat. Demikian disampaikan oleh perwakilan URDI Wicaksono Sarosa dalam Dialog Special Tata Ruang di Radio Trijaya FM, Rabu (10/12/2008).

Sementara itu, menurut Bambang Eryudawan dari IAI, perkembangan suatu kota tidak terlepas dari peran arsitektur dan aturan pendukung yang berlaku dalam suatu kota. Penataan sebuah kota dapat dikatakan gagal apabila antara tata ruang kota dan arsitekturnya tidak sehaluan, berjalan sendiri-sendiri, memiliki interpretasi yang berbeda, serta tata ruang itu sendiri gagal menangkap aspirasi dari masyarakat, terkait bagaimana seharusnya sebuah kota dibangun.

Diperlukan adanya dialog antara perencanaan tata ruang dengan arsitektur yang dapat dimulai dari Pemerintah yang memiliki kewenangan regulasi, pengawasan, dan pemberi masukan untuk mewujudkan suatu ruang yang nyaman dan adil bagi seluruh masyarakat.

Guna mewujudkan pembangunan kota yang teratur, dukungan dari seorang pemimpin sangat diperlukan dalam hal ini. Pemimpin suatu kota harus memiliki visi dan misi yang kuat untuk mewujudkan sebuah ruang yang aman, nyaman, dan memenuhi aspirasi masyarakat.

Sebagai contoh Paris, kota ini dulunya didesain dengan mengambil konsep militer dengan tujuan memperlancar gerak tentara dan sampai saat ini konsep tersebut masih dipertahankan oleh pemimpinnya dengan maksud sebagai ciri khas dari kota tersebut. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di Indonesia, dimana masyarakat diberikan kebebasan untuk mengatur ruang namun izin terhadap pengembang untuk menata kota juga terus dikeluarkan oleh Pemerintah. Akibatnya kota berkembang secara semrawut dikarenakan hanya mementingkan satu pihak tanpa mempedulikan aspirasi dari masyarakat selaku subyek pembangunan.

Tantangan yang saat ini dihadapi oleh arsitek adalah bagaimana menciptakan sebuah kota modern namun tidak meninggalkan ciri khas dari sebuah kota (kontekstual). Untuk menyikapi hal ini maka dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan kondisi lokal yang berkembang di masyarakat baik itu perilaku maupun tata caranya.

Arsitek yang seringkali dijadikan biang kesalahan apabila suatu kota tumbuh secara tidak teratur pada dasarnya tidak sepenuhnya benar. Hal ini dikarenakan arsitek merancang sebuah kota dengan dilandasai peraturan yang berlaku di kota tersebut. Selanjutnya dengan izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah maka pelaksanaan pembangunan barulah dapat berjalan. Kunci dari teratur atau tidaknya pelaksanaan pembangunan ini terletak pada Pemerintah sebagai pihak yang berwenang untuk melakukan pengawasan. Dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 26 Tahun 2007 ini merupakan langkah awal yang baik untuk menciptakan penyelenggaraan penataan ruang secara konsisten.

Selain itu, adanya penegakan hukum untuk menciptakan keteraturan dalam masyarakat sangatlah penting. Hukum bisa tegak apabila dilandasi oleh kesadaran masyarakat dalam bentuk dialogis yang diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai wahana untuk menciptakan edukasi. Dari forum dialog diharapkan dapat tercipta harmonisasi antara tata ruang dan arsitektur dalam mewujudkan sebuah ruang yang berkelanjutan.

Sumber: http://www.penataanruang.net | http://penataanruang.pu.go.id

Pentingnya Manajemen Perkotaan dalam Penataan Ruang


Bertambahnya jumlah penduduk yang terus meningkat dari waktu ke waktu akan memberikan implikasi terhadap tingginya pemanfaatan ruang kota. Ada 2 (dua) faktor penting dalam penataan kota, yaitu faktor ideal dalam arti standar kesejahteraan kota dan faktor pelaku dimana manusia itu sendiri yang berfungsi sebagai subyek dalam suatu kota.

Terkait dengan perlunya penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di setiap kota sebesar 30% yang disebutkan dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007, maka dalam merencanakan dan membangun sebuah kota tidak hanya pembangunan secara fisik yang ditonjolkan untuk mencapai kemakmuran perekonomian, namun penyediaan RTH dan fasilitas publik juga perlu ditingkatkan.

Pengantar tersebut disampaikan oleh Penggiat Masyarakat Perkotaan Rai Pratadja dalam Dialog Special Tata Ruang di Radio Trijaya FM, Rabu (26/11/2008).

Dikatakan oleh Rai, adanya kebijakan Pemerintah untuk melakukan penggusuran terhadap permukiman kumuh dengan alasan menciptakan RTH merupakan sesuatu yang wajar. Hal ini dikarenakan kebijakan tersebut bertujuan untuk menciptakan ketertiban, keteraturan, dan mengakomodasi keinginan masyarakat secara luas. Guna menciptakan harmonisasi antara kawasan permukiman skala menengah dan bawah dengan skala atas maka diperlukan suatu manajemen perkotaan. Strategi yang ingin diwujudkan adalah menempatkan serta memberdayakan kelompok bawah agar nantinya dapat bersaing untuk mencapai kehidupan yang baik. Dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 26 Tahun 2007, masyarakat kini lebih punya wadah dan tempat untuk mendapatkan hak serta tahu kewajibannya dalam penataan ruang.

Ditambahkan oleh pengamat perkotaan Andi Siswanto, dalam suatu kota ada 3 (tiga) elemen yang berperan yaitu community, government, dan privat sector yang keseluruhannya merupakan pemangku kepentingan. Sehingga bila suatu ruang mengalami perubahan menuju ke arah yang lebih baik ataupun sebaliknya -ke arah yang lebih buruk- maka ketiga pemangku kepentingan tersebut harus bertanggung jawab dan berupaya mencari solusi atas permasalahan tersebut. Peran dan partisipasi masyarakat dalam penataan ruang harus dilibatkan mulai dari pengidentifikasian masalah, potensi yang dimiliki, serta konsep perencanaan yang diinginkan. Hal ini dikarenakan inti dari perencanaan adalah mengeliminasi suatu masalah agar tidak berkembang lebih luas.

Adanya arus globalisasi yang terjadi saat ini akan banyak membawa perubahan dan tantangan baru dalam penataan ruang. Diperlukan adanya manajemen kota untuk menampung berbagai macam aspirasi, kepentingan, dan harapan dari masyarakat dengan mengembangkan prinsip-prinsip manajemen yang terpadu dan terkoordinasi.

Konsep pemberdayaan dan pelibatan masyarakat miskin perkotaan dalam penataan ruang harus dilakukan secara hati-hati, dikarenakan sangat rentan terhadap intervensi dalam perencanaan kota. Perlu adanya pemecahan masalah dari sisi sosial ekonominya dengan upaya penyediaan lahan, pembangunan berbasis teknologi, dan penetapan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Selain itu penerapan prinsip trust-worked antara Pemerintah dan masyarakat harus tetap dilaksanakan untuk mewujudkan penataan ruang yang bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat.

Sumber: http://www.penataanruang.net | http://penataanruang.pu.go.id